Kembali lagi rutinitas wajib itu aku lakukan. Dihadapan sang jubah putih
itu, ku lepaskan pakaian penutup bagian atas yang ku kenakan. Ku jatuhkan
kebawah hingga lantai. Terulang lagi seperti yang seminggu lalu telah
terlaksana. Kedua tangannya mulai meraba setiap jengkal dadaku. Dengan gerakan
seperti memijit, memutar, kadang menekan-nekan. Ahhhh.. rasanya ?! entahlah.
Perih, tapi telah bosan aku meringis.
“ Kapan keputusan kamu dibuat ? “ tanya
sang jubah putih. Pertanyaan yang sering terlontar dari bibir bergincu merah
bata itu. Sudah bosan aku mendengarnya. Sebuah pertanyaan yang berakhir dengan
permintaan bahkan tak jarang berhujung pada pemaksaan. Yah si jubah putih itu
memintaku untuk mengambil keputusan kapan aku bersedia untuk menjalani operasi.
Stadium kankerku sudah mencapai level 3. Sebuah level yang tidak main-main,
bahkan bisa menjadi tamat aku dibuatnya. Padahal belum puas aku bermain-main
bersama penyakit ini.
“ Iya nanti Mita. Di kantor masih
banyak proyek yang belum selesai. Paling beberapa bulan lagi” jawabku.
Sebenarnya aku memiliki seribu satu alasan untuk mengelak menjalani operasi
itu. Namun lagi-lagi alasan yang paling logis adalah kantor, semua tipu
muslihat itulah yang menjadi penghalang terlaksanannya hajat besarku itu.
“ Memang udah ga ada alternatif
lain Mit ? “
“ Lebih baik kamu merenungi apa makna umur panjang.
Semoga Tuhan dapat membuka jalan pikiranmu Ze… “
Aku menutup pintu ruangan dengan
perlahan.Tak ingin karena suarannya yang gaduh membuatnya terganggu. Yahh
benar. Dia lah penyemangatku. Dokter Paramita, dia lah yang selama ini menjadi
Tuhan berikutnya dihidupku setelah Bapa,Bunda dan Roh Kudus. Bahkan sangking
akrabnya aku denga dokter ini,
sampai-sampai sudah tidak ada lagi kata dokter sebagai panggilan hormatku
padanya. Panggil Mita saja, itu pintannya padaku.
Dibilik berdindingkan kaca pemisah
antara pasien dan seorang apoteker rumah sakit, Aku menebus resep yang
diberikan Mita tadi. Dibagian bawah terdapat jendela kecil . Aku berikan kertas
berisi goresan tinta yang tak jelas alur hurufnya. Tulisan yang meliuk-liuk,
terlihat seperti sandi yang hanya dapat dimengerti oleh sang apoteker saja. “Silahkan
tunggu disana.. “ suruhnya dengan nada yang lembut.
Sambil menunggu, ku ambil earphone
dari dalam tas, lalu segera menyetel
lagu favorit dari handphone. Aku suka lagu-lagu hip hop ataupun rock. Iramannya
. Berdegup-degup di jantung apabila terdengar sampai keras-keras. Rasanya
telingaku menjadi penuh dibuatnya. Namun keasyikanku terganggu setelah
datangnya seorang pria yang duduk tepat disebelahku.
Suara riuh keluar dari
tenggorokannya dan terdengar seperti ada lendir didalamnya. Tak ketinggalan,
dari lubang hidungnya sayup-sayup terdengar suara nafas yang terhalangi oleh sesuatu yang
menggumpal didalamnya untuk turun ke bawah. Ia menutupinya dengan sapu tangan
bermotif kembang-kembang hijau. Wah penebar virus orang ini.
“ Maaf yahh, Saya duduk disini
tidak mengganggukan ? “
“ yasudah duduk saja “
Meski ku tanggapi dengan nada ketus
tapi tetap saja Dia mengajakku untuk mengobrol. Mulai dari sebab-sebab Dia
datang ke rumah sakit karena terserang demam. Bahkan mulai menyalahkan
orang-orang yang tidak ku kenali. Mulai dari Jefri, Roy, Kokom dan ahhh
persetan ! konon, mereka adalah orang-orang yang menyebabkannya terserang demam.
Hujan-hujanan sepulang dari rapat yang dilaksanakan di luar kantor menjadi
faktor utama menurutnya.
“ Namamu siapa ? “ Dia mengatakan
itu sembari menyodorkan tangan kanannya. Dengan penuh harap cemas. Terlihat
jelas di kelopak matanya yang terbingkai oleh lensa kotak yang bertangkai
hingga telinga. Kami berkenalan di ruang tunggu apotek rumah sakit. Namannya
Dan. Aku berharap itu nama baptis dari Daniel atau Dante. Ternyata itu sebuah
nama sapaan dari nama Ardan. Pria berperawakan tegap itu seorang muslim
ternyata. Pada intinya dari perkenalan kami terdapat kesimpulan bahwa dua orang
penyakitan saling bertemu ditempat berkumpulnya orang-orang berpenyakit dan
berkenalan. Mungkinkah kami berbagi penyakit ?
Pertemanan kami berlangsung sejak
pertemuan kita di ruang tunggu itu. Dan sering menelponku pada saat malam hari.
Dia juga sering ke kantorku untuk mengajak makan siang bersama. Lelaki beralis
tebal itu terlalu banyak bicara, bahkan tak sungkan untuk menceritakan segala
macam hal dalam hidupnya secara terperinci. Namun, Aku betah saja meladeni
celotehannya itu. Dengan setulus hati, Dan menceritakan semuanya. Padahal Aku
jarang membagi kisah hidupku bersamanya.
“ Aku ingin melamarmu Ze.. “
Gurauan itu membuatku tertawa
cekikikan, namun rasanya ada aliran listrik yang mengejutkan syaraf-syaraf di
jantungku sehingga dadaku bergetar. Ahh mungkin itu efek obat yang di berikan
oleh Mita. Kadang beberapa obat berdosis tinggi memiliki efek membikin jantung
berdebar bahkan keringat dingin.
Tak pernahku sangka semua itu
ternyata bukanlah sekadar ocehan belaka. Namun jujur, memiliki seorang lelaki
saja Aku tak pernah terpikirkan. Apalagi membayangkan sebuah pernikahan. Ohh Bapa mengapa pria ini mengatakan hal demikian
?!
Operasi pemusnahan kanker itu
akhirnya berhasil di wujudkan. Bonusnya Aku harus kehilangan organ penting dari
tubuh yang berperan penting dalam proses susu-menyusui . Tapi setelah
dilihat-lihat tak ada bedanya. Aku masih seksi seperti yang dulu-dulu. Ritual
pijit-pijit telah usai. Kini ritual penyiksaan baru harus Aku hadapi. Aku
berganti dokter. Dokter Darma, spesialisasi pengobatan pasca operasi. Kemoterapi,
menyebutkan namanya saja membuatku seperti tersambar geledek di siang bolong.
Ku jalani kemoterapi, Dan dengan
setia menemani setiap kegiatan baruku itu. Sesuai dengan efek kemoterapi yang
telah dijalani para alumni pasien sebelum diriku. Rambut mulai tanggal dari
kepala, alis mata hilang entah kemana, bulu mata yang lentik kini berguguran,
bahkan perutku ikutan rewel memuntahkan segala sesuatu yang masuk kedalamnya.
“ Aku ingin kau jadi istriku Ze…. “
Sekali lagi Aku menolaknya. Karena
asmara bukan fokus utamaku. Aku ingin sembuh. Tapi benar-benar, Dan memang
kepala batu. Dia tak sedikitpun beranjak dan teguh pada pendiriannya. Aku menyuruhnya untuk mencari wanita lain
yang lebih sehat dan kuat. Karena tentu saja seseorang yang berpenyakit seperti
ini pasti akan menjadi bibit penyakit untuk para generasi penerusnya. Lagi pula
apakah orang tuanya mau menerima keadaanku yang penyakitan dan berkepala licin
gundul seperti ini ?. Apalagi Dan menyandang predikat sebagai anak tunggal.
Anak tunggal, yang artinya anak semata wayang keluarga.
Pastilah merepotkan bila Aku
menjadi istrinya. Repot mulai dari acara pernikahan yang harus menyewa ambulan
beserta seperangkat dokter siaga untuk berjaga-jaga. Repot dalam urusanku yang
harus mondar-mandir kerumah sakit. Apalagi soal biaya. Tentulah akan menguras
pundi-pundi kekayaannya yang telah susah payah dicari selama lima tahun
terakhirnya bekerja. Tapi tetap saja Dia
tak mundur jua.
“ Tuhan kita berbeda Dan… “
“ Tuhan hanya satu. Manusialah yang
membuatnya berbeda. Sudah cukup Aku menyentuhmu dengan pandangan. Sudah cukup Aku
menciumi bayanganmu. Aku ingin semuanya menjadi nyata. Aku ingin Ze halal untuk
Dan... “
Setelah mulutnya rapat usai
mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba dipandanganku terlihat dirinya memancarkan
kilat-kilatan cahaya dan berubah menjadi sinar yang berkilauan. Mataku silau dibuatnya.
Akupun tertunduk, Aku coba kembali menatapnya. Namun, lagi-lagi cahaya itu
kembali terang berkali-kali lipat dari sebelumnya. Aku kembali tertunduk.
Aku menunduk hanya pada sang
pencipta dunia beserta isinya, mendiang ibuku, ayahku dirumah serta dokter Mita. Tapi kini aku
menunduk di hadapannya. Rasanya seperti Tuhanku sedang berada di puncak
ubun-ubunnya. Aku melihat Tuhan dalam dirinya. Kepalaku selalu tertunduk di hadapannya.
Aku bisa meninggalkan manusia tapi mana mungkin aku bisa meninggalkan Tuhan.
Aku harus berbuat apa ?
Kesehatanku semakin melemah.
Kekbalan tubuhku mulai naik tunun. Paramita mulai angkat bicara soal dilema
hati dan imanku ini. Dia seperti seorang pastur yang sedang berkhotbah didepan
jidatku. “ apakah menikah berbeda agama itu sah ? lagi pula Negara tidak
menyetujuinya Zee. Coba pikirkan dengan akal sehat serta imanmu. Bagaimana
dengan tanggapan orang diluar sana !!! “ kata-kata itu seperti cambuk yang
mengenai tubuhku. Aku tidak perduli dengan cibiran manusia diluar sana. Mereka
bukan hakim, yang berhak untuk menjatuhkan hukum padaku. Mereka hanyalah
penonton yang bisanya menyalahkan dan bergunjing.
Cinta betapa jahatnya dirimu. Kau
dengan bebas menghubungkan antara pria dan wanita serta menyatukannya dalam
kemesraan. Kini kau malah membuat korbanmu menjadi kebingungan. Tentang bagaimana cara untuk
menyatukan ikatannya. Kini kau membuatku harus menyusuri tempat yang penuh
dengan jalan dan lorong yang berliku-liku dan simpang siur. Terhadang dengan
kokohnya perbedaan agama, adat, dan hukum yang berlaku.
Aku mencintai Dan. Dan mencintai
aku. Perbedaan yang diantara kita
semakin kokoh dan tegak berdiri, serta semakin sulit untuk kami dapat tembus
ataupun sekadar mencari secercah celah. Semakin tembok itu dihancurkan, maka semakin
kokoh bangunan itu. Tidak ada lubang ataupun celah yang dapat dihancurkan untuk
dapat kami bertemu ataupun saling memegang tangan.
Apakah dia harus ikut beriringan
denganku melantunkan Rosario dengan
khidmat, atau aku berada dibelakangnya dengan pakaian penutup aurat serta menjadi
makmum saat bersujud padaNya. Apakah Tuhan mau menerima seorang hamba baru,
yang bersedia memujaNya karena pengorbanan dari sebuah cinta terhadap seseorang
yang dicintainya. Sebuah pengorbanan tentang keyakinan serta iman.
Apakah pemujaan Tuhan karena cinta
terhadap seseorang dapat diterima oleh sang pencipta cinta itu sendiri ? lalu
bagaimana dengan iman dan keyakinan yang dipaksakan oleh cinta terhadap
seseorang dan bukan karena cintanya kepada Tuhan. Cinta terhadap Tuhan baru
yang masih diragukan keabsahannya, cinta yang suci dengan ikhlas beribadah atau
cinta semu yang terpaksa dilakukan ?. Aku ingin memilikinya. Aku harus apa
sekarang ? aku bisa lakukan apa ? ohh Tuhann.
***
Tuhan dengan perlahan memutar
lentera milikNya yang teramat besar itu dari langit. Memutarkannya ke sisi lain
dari bumi ini, agar manusia dibelahan
bumi yang lain dapat merasakan dahsyatnya khasiat dari lentera besar ini. Redup-redup
cahaya lentera itu lalu benar-benar menghilang cahayanya. Semuanya gelap
gulita, namun Tuhan masih menyediakan lampu yang dapat menyinari bumi yang merupakan satelit alam. Lampu cantik yang
dapat berubah bentuk dari sabit yang berbentuk senyuman manis, ataupun bulatan
besar seperti biscuit coklat. Satelit yang dengan setia memutari bumi tanpa
pernah protes itu mulai menampaknyan wajahnya. Namun kemilau cahaya dari
satelit itu tertutup sinarnya oleh rintikan air yang menetes dari awan.
Rintik-rintik air itu semakin lama semakin turun dengan derasnya. Petir ikut
menghiasi langit dengan guratan-guratan kilat dan berakhir dengan dentuman
keras dari langit, yang menggelegar sampai ke bumi.
Pesawat listrik yang bergagang itu
berdering tiba-tiba. Aku angkat gagang putih yang terdapat tali melingkar-lingkar
dari ujung gagangnya itu sampai dipapan
bertombol warna-warni yang berfungsi untuk mengalirkan listrik. Terdengar
seseorang yang berbicara dari dalam pesawat telepon itu dengan nada lembut dan
sopan.
“ Selamat malam dengan Ibu Zean disini ?”
“ Ya benar dengan saya sendiri. Ini
siapa ? dan perlu apa malam-malam begini menelpon ?”
“ Kami dari Rumah Sakit Sumber
Abadi, kami ingin memberitahukan bahwa kerabat Anda sedang berada dirumah sakit
ini”
“ Kerabat ? siapa namanya ? dan apa
yang terjadi ? “
“ Sekitar pukul delapan malam tadi
kami baru saja mendapatkan pasien kecelakaan tabrak lari, dan korban datang
dalam kondisi sudah sekarat. Korban bernama Ardan Wijoyo “
“ ya Tuhan… bagaimana kondisinya
saat ini ?! di…. dimana alamat rumah sakitnya ? “
“ Maaf Ibu.. korban kini tidak
dapat tertolong lagi. Korban meninggal karena kehabisan banyak darah. Alamat
rumah sakit kami di Jalan Warkasya kavling 73. Kami menelpon Ibu karena kami
menemikan secarik kertas yang berada dalam saku jaket kulit milik korban. Lalu
kami segera mencari nomer telepon Ibu di phonsel miliknya “
“ Haloooo…. Halooooo… Ibu Zean ?
halooo … Ibu Zean.. … “
Tuuutttt…… tuuutttt…… tuttttt…….
Priuk, 16 Desember 2014