Selasa, 17 Mei 2016

Filsafat Bahasa dan Ambiguitas dalam Tulisan

1. Bahasa dan filsafat adalah 2 rumpun disiplin yang berbeda, tetapi memiliki keterkaitan. Jelaskan keterkaitan diantara keduanya ?

Hubungan Bahasa dengan Filsafat
Fungsi bahasa ialah sebagai alat untuk mengkomunikasikan suatu gagasan kepada orang lain. Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui oleh khalayak manakala tidak dikomunikasikan melalui bahasa. Bahasa sangat diperlukan dalam kehidupan.
Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi jangan lupa, bahasa pun mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa merupakan aspek terpenting dari kehidupan manusia. Sekelompok manusia atau bangsa yang hidup dalam kurun waktu tertentu tidak akan bisa bertahan jika dalam bangsa tersebut tidak ada bahasa.
Karena itu, siapa pun orang akan senantiasa melakukan relasi yang erat dengan bahasa.. Bagaimanapun alat paling utama dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bias mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buak pikiran kefilsafatan.

Louis O. Katsooff berpendapat bahawa suatu system filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut. Karena itu filsafat dan bahasa senantiasa akan beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya memiliki cinta yang sejati, sebuah cinta yang tidak mengetengahkan dimiliki dan memiliki. Hal ini karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol.
Sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia symbol-simbol tersebut.

Bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hukum kausalitas (sebab musabbab dan akibat) yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat), baik secara langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun.

Bahkan akhir-akhir ini “bahasa” telah dijadikan sebagai objek yang sangat menarik bagi perenungan, pembahasan dan penelitian dunia filsafat. Hal ini selain bahasa memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks. Salah satu kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.

Realitas semacam itulah, barangkali yang mendorong para filosof dari tradisi realisme di Inggris mengalihkan orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa seperti yang telah dilakukan oleh George More (1873-1958), Bertrand Russel (1872-1970), Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Alfref Ayer (1910- ), dan yang lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini sering dikelompokkan sebagai aliran baru dalam filsafat, yaitu aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitis.
Sebagaimana dijelaskan bahwa filsafat bahasa bahasa adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Hubungan bahasa dengan filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf bahkan sejak zaman Yunani. Para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa.

2.Jelaskan bahasa sebagai system tanda !

Bahasa merupakan sistem tanda. Kategori tanda menurut Pierce ada tiga, yakni ikon, indeks dan simbol. Ikon yaitu tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan dalam bentuk alamiahnya. Dengan kata lain, ikon adalah suatu benda fisik baik dua atau tiga dimensi yang menyerupai apa yang direpresen-tasikannya.

Indeks yaitu tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Simbol yaitu tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya terjadi berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Konsep dasar makna bahasa didapatkan atas relasi atau hubungan antara penanda dan petanda.

Holdcroft, sebagaimana Saussure mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang membentuk objek yang utuh dalam dirinya. Bahasa juga bukan sekadar tata nama, sehingga pandangan yang menyatakan bahwa gagasan lebih dulu dari kata-kata dianggap pandangan yang keliru. Sementara itu, Holdcroft menyatakan tanda bahasa merupakan entitas psikologis yang berkaitan antara satu tanda dengan tanda lainnya hingga membentuk sebuah sistem.

Bahasa sebagai sistem tanda mencakup pula ketiga kategori tanda tersebut. Icon sebagai bentuk yang paling sederhana, karena ia hanya pola yang menampilkan kembali obyek yang ditandainya, sebagaimana bentuk fisik obyek itu. Ikon cenderung hanya menyederhanakan bentuk, tetapi mencoba menampilkan bagian yang paling esensial dari bentuk tersebut. Beberapa contoh sederhana ikon yang biasa kita temui, misalnya; gambar wajah adalah ikon dari diri seseorang atau ikon printer di komputer adalah ikon dari fungsi mencetak, yang akan dilakukan oleh mesin print, akan tetapi tulisan “Print” saja bukanlah ikon, karena tidak mewakili ciri fisik printer.

Indeks diterjemahkan secara literal sebagai some sensory feature (sesuatu yang dapat dilihat, didengar, atau mudah tercium baunya) yang kemudian menghubungkannya dengan obyek tertentu. Beberapa contoh yang biasa kita temui, misalnya; awan yang gelap dipahami sebagai tanda (indeks) akan datangnya hujan. Perlu dietahui, bahwa indeks selalu dipahami berdasarkan frekuensi kemunculannya. Artinya, untuk memahami tanda-tanda tersebut, perlu paparan berulang, terutama bagi manusia. Manusia belajar dari alam mengenai tanda-tanda alam, sehingga semakin sering suatu tanda muncul dan diikuti oleh peristiwa, atau kehadiran obyek tertentu, semakin hafal manusia terhadap indeks tersebut.

Simbol digunakan untuk membuat asosiasi terhadap suatu obyek yang tidak harus berhubungan langsung baik secara fisik maupun karena kehadirannya dalam waktu tertentu. Simbol dalam kata-kata seringkali dengan mudah keluar dari konteksnya, dan hampir selalu berhubungan dengan kata-kata lainnya. Karena sifatnya yang konvensi atau kesepakatan, maka perlu dicatat, bahwa simbol seringkali digunakan manusia untuk memahami sesuatu konsep, tanpa harus melihat langsung atau mengalaminya. Di sinilah kekuatan utama simbol yang diciptakan manusia. Ketika manusia sudah memiliki perbendaharaan kata indeksial yang kuat, dengan mudah ia dapat mengembangkan kata tertentu sebagai simbol. Dengan cara menemukan analogi atau hubungan yang masuk akal, kita bisa menggunakan suatu kata sebagai simbol yang sebenarnya keluar dari konteks kata yang sebenarnya.

Sementara itu, Duranti mengatakan bahwa mendeskripsikan budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa. Oleh karenanya, dengan mengetahui budaya dan bahasa suatu kelompok kebudayaan, maka akan lebih mudah memahami budaya tersebut atau dengan kata lain akan lebih mudah pula memahami makna bahasa tersebut. Keterkaitan antara budaya dan bahasa oleh Duranti dianggap akan dapat menguak makna serta dapat menemukan dan menentukan makna dibalik penggunaan bahasanya.

Duranti menganggap bahwa bentuk, fungsi, dan makna bahasa dapat mengungkapkan makna budaya. Makna budaya itu menyiratkan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat bahasa. Pemakaian bahasa dalam dimensi budaya mencakup: bentuk, fungsi, makna dan nilai. Analisis bentuk dan fungsi lebih menyoroti aspek kebahasaan secara mikro dan secara makro. Bentuk kebahasaan, baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis bisa menjadi ciri bagi fungsi-fungsi pemakaian tertentu. Fungsi-fungsi dimaksud berkaitan dengan makna dan nilai budaya yang dianut oleh suatu masyarakat budaya. Dengan kata lain, bentuk tertentu bisa saja mencerminkan tipikal terhadap fungsi tertentu. Fungsi tertentu itu mungkin juga tipikal terhadap makna dan nilai budaya. Selain itu, makna bahasa juga dapat diketahui melalui simbol-simbol seperti di dalam semiotik. Dimana sistem semitok sendiri ada dan dibangun oleh suatu masyarakat budaya yang bersifat universal, meski dapat pula bersifat khas.

Bahasa dan budaya adalah milik suatu kelompok masyarakat. Dari sisi bahasa, kelompok dimaksud disebut masyarakat bahasa, sedangkan dari sisi budaya disebut kelompok etnik. Dari sisi hakikat, bahasa dan budaya bersifat arbitrer/manasuka. Sifat kemanasukaan itu dapat menyebabkan persepsi dan makna yang berbeda, bahkan bertentangan antara masyarakat tutur dan masyarakat budaya yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya sifat kemanasukaan itu, maka untuk mengetahui pemakaian bahasa dan makna didalamnya, maka diperlukan apa yang kita kenal sebagai etik-emik.

Etik-emik ini menganut prinsip bahwa, yang paling mengetahui makna budaya suatu kelompok etnik adalah kelompok etnik itu sendiri. Meskipun demikian, pemilik budaya kadang-kadang tidak tuntas menjelaskan muatan budaya yang dimilikinya itu. Atas dasar dikotomi pemahaman budaya oleh pendukungnya itu, diperlukan pendekatan yang dapat menjadi jalan keluar dalam penelitian bahasa dan budaya, yakni pendekatan etik-emik. Etik mengacu pada hal-hak yang berkaitan dengan budaya yang menggambarkan klasifikasi dan fitur-fiturnya menurut temuan pengamat/peneliti. Sementara emik mengacu pada sudut pandang suatu masyarakat dalam memperlajari dan memberi makna terhadap satu tindakan, atau membedakan dua tindakan. Etik adalah apa yang dipahami peneliti, sementara emik adalah apa yang ada dalam benak anggota kelompok/masyarakat budaya.

Sumber:
Duranti, Alesandro. 2000. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Holdcroft, David. 1991. Saussure: Signs, System, and Arbitrariness. Cambridge: Cambridge University Press.












3.Amati fenomena bahasa disekitarmu lalu hubungkan dengan konsep kelemahan dan kelebihan bahasa !


Kini peran media massa sangat banyak berpengaruh. Media massa sudah melebarkan sayapnya hingga ke ranah online. Media online dewasa ini, lebih mudah diakses ketimbang sarana lainnya. Seperti media cetak maupun elektronik.

Media online tentu sangat beragam jenisnya. Mulai dari topic pemberitaan maupun gendrenya. Hal ini tentu memunculkan persaingan yang ketat bagi masing-masig situs pemberitaan online tersebut. Hingga mereka melakukan segala upaya demi menjaga popularitas situs pemberitannya

Salah satunya dengan memberika judul artikel pemberitaan dengan bersifat melebih-lebihkan. Bahkan hingga memberikan judul depan dengan kata-kata yang bersifat konotasinya tidak baik dan seronoh. Hingga memunculkan persepsi yang berganda. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek penasaran bagi para nitizen untuk tertarik dan mau membaca berita online tersebut.

Misalnya contoh diatas. Berita tentang salah satu artis yang cukup sering berwara-wiri dilayar kaca Indonesia yang kini sedang terlibat kasus pelecehan seks. Saipul Jamiel atau yang kerap disapa Bang Ipul, diberitakan disalah satu situs media online yang menyebutkan menyamakan penjara yang saat ini ia tempati lebih seperti kandang ayam.

Jika dilihat sekilas saja sebelum membaca, memang membuat rasa penasaran ingin membaca berita tersebut sangat tinggi. Ini salah satu trik penulis berita untuk membuat nitizen penasaran untuk membuaka artikel tersebut. Saya pun merasa demikian sebagai pembuat artikel ini, merasakan hal serupa.

Tetapi jika dilihat dari sisi yang berbeda, seperti ada sisi ambigu didalam penulisan judul tersebut. Pembaca seakan-akan diajak untuk merasa pernyataan artis kondang tersebut tidak menghargai fasilitas yang ada didalam tahanan yang berlokasi di Jakarta Utara ini.

Sebaiknya media-media online lebih memberikan perhatian tentang kehati-hatian saat membuat judul artikelnya. Agar pembaca tidak rancu saat membaca dan menyerap informasi yang disuguhkan oleh situs-situs berita online.